| WELCOME TO MY SITE | LEAVE COMMENT ON THE POST AND RATE IT | ENJOY ♥ |

Saturday, February 4, 2012

Untitled.


“Dik, aku janji satu tahun lagi aku pasti bareng kamu. Pegang janji aku. Aku pasti temenin kamu disana Dik, kita bareng ya Dik?”

Sinta pun mengangkat jari kelingkingnya, berniat untuk berjanji berdua dengan Dika. Kedua sahabat yang memang tidak mau dipisahkan. Sinta terus meneteskan airmata seolah dirinya tak mampu jika tak ada Dika disampingnya. Saat itu memang mereka sedang mempunyai topik pembicaraan yaitu Studi lanjut. Ya, memang perbedaan usia pun yang menjadi penyebab perpisahan mereka.

“Sinta, aku tau, ini memang sulit. Kita bedoa, semoga kita tetap bisa bersama. Aku sayang kamu, Sin, sungguh. Sin, kamu kuat dan bisa kok. Aku tau itu. Selama kita masih bersama, kita pasti bisa. Aku selalu ada buat kamu Sin.”

Tanpa menunggu, Sinta langsung menjatuhkan separuh raganya, menempel erat dipelukan Dika. Sinta memang seorang remaja yang sangat tidak bisa menahan airmatanya. Apapun yang dia rasa menyakiti hatinya sendiri, namun Ia tak bisa mengungkapkannya, maka Sinta tak salah lagi, Ia akan menangis.




---- 3 bulan kemudian ----



Untuk : Sinta
Dari : Dika

“Sin, doain aku ya, sebentar lagi aku bakal terima hasil dari PTN yang aku tuju. Mungkin beberapa minggu kemudia aku baru menerima hasil kelulusan itu. Sekarang aku masih di Yogya, menikmati liburan bersama keluargaku disini Sin. Andai ada kamu disini”



Untuk : Dika
Dari : Sinta

“Wah! Aku ikut seneng ya Dik! Semoga kita bisa bareng ya Dik. Selamat bersenang-senang disana ya. Maaf aku gak bisa temenin kamu disana Dik, take care ya.”



Untuk : Sinta
Dari : Dika

“Semoga ya Sin. Amin, terimakasih Sin!”






Percakapan melalui pesan singkat tersebut memang ingin Sinta akhiri. Sinta belum siap untuk mengatakan bahwa memang seharusnya tahun ini Sinta akan pindah dan melanjutkan Studi di Yogyakarta. Impian Sinta memang sudah sirna, bukan hanya impian Sinta, namun impian mereka berdua  pun hilang. Entah apa yang harus Sinta katakana pada Dika. Sinta merasakan yang lain telah berubah dari seorang Dika yang Sinta kenal dahulu.
“Aku ngga mau sampai Dika sakit hati dengan keputusan yang nyata ini. Aku gak boleh kecewakan Dika. Tapi apa yang seharusnya aku lakukan?”




March, 27th 2009

To         :         dikayms@plasa.com
From     :         triskasinta@mbox.com

Dik, kita harus bertemu secepat mungkin. Aku tak bisa mengirim pesan singkat untukmu. Beberapa hari yang lalu ponselku hilang di toko buku. Aku harap kamu bisa membaca, membalas dan menemuiku di kafe biasa lusa. Aku tunggu ya Dik, seperti biasa jam 14:50.

Sinta



            Dua hari kemudian, Sinta telah menunggu di kafe sejak pukul 14:00. Ia memang tak pernah ingkar janji atau pun terlambat. Ia selalu datang tepat waktu. Mungkin karena Sinta selalu ada tepat waktu bahkan kapan saja saat Dika membutuhkannya, Dika merasa Sinta adalah “sesuatu “ untuknya.
            Perasaan lebih yang dimiliki Sinta yang selalu menjadi alasan Sinta untuk selalu ada saat Dika membutuhkannya, kapanpun itu. Mungkin inilah salah satu strategi Sinta untuk memancing reaksi Dika namun Sinta belum merasakan adanya timbal balik dari Dika. Sinta mengerti, Dika takkan menggangap berarti hubungan persahabatan ini, karena Sinta mengetahui semua permasalahan cinta Dika.

“Hallo Mbak”

“Kamu! Seperti biasa selalu saja!”

“Hehehe maaf Mbak, macet. Aku tak membawa kendaraan sendiri, kali ini aku menggunakan angkutan umum. Jadi terpaksa aku berpanas ria. Oke, lupakan. Oh ya, bagaimana ponselmu? Apakah ada yang berbaik hati mengembalikannya?”

“Sudahlah, lupakan masalah ponsel Dik. Aku tidak begitu memerlukannya”

“Iya, itu memang dirimu Sin. Oh ya mengapa kamu mengirim email seperti itu? Sepenting apakah topik pembicaraan kita kali ini Sin?”

            Sinta hanya bisa diam membisu memandangi secangkir kopi dihadapannya. Beku, seolah tak ada aliran darah didalam tubuhnya.

“Hmmm.. ini loh Dik…”

“Apa? Kenapa? Ada yang salah dengan penampilanku? Aku kurang macho? Atau aku kurang ganteng? Ayo katakan”

“Aku…. Sebenernya…..”

“Sebenernya apa sih? Kamu mau bilang kalau aku kelewat ganteng? Hahahaha”

            Semakin lama semakin Sinta kesal dengan ulah sahabatnya itu. Memang Sinta humoris tapi pada saat yang tepat. Nada kekesalan pun terlontar dari mulut Sinta yang kecil.

“Dik, aku serius kali ini!”

“Maaf Non, maaf. Aku hanya ingin memperbaiki mood ku yang rusak dijalanan macet tadi”

“Aku gak bisa lanjutin studi bareng. 4 bulan lagi aku pindah ke Yogya, aku pasti lanjutin studi disana”

            Suasana dimeja 06 pun hening. Berubah, seolah mencekam. Seperti menandakan adanya badai antara perasaan mereka berdua. Tetesan airmata itupun tak bisa ditahan. Keduanya hanya bisa terdiam dan mengeluarkan airmata. Sesekali Dika menghapus airmatanya namun Dika tetap tak bisa menahannya.

“Dik, maafin aku! Dik, aku memang yang buat janji itu. Sebenernya aku gak mau bikin kamu kecewa sama keputusan aku ini Dik. Tapi aku gak bisa bohong sama kamu Dik. Aku memang harus meninggalkan kota ini. Meninggalkan semua kenangan termasuk meninggalkan kamu Dik. Ini memang bukan keinginan aku Dik, semua ini Ayah yang putuskan. Aku tak bisa menolak. DIKAAAAAAAAA!!!”

“Sin, Yogya itu jauh”

“Sin, Yogya itu ditempuh dengan perjalanan panjang. Bagaimana jika aku ingin bertemu denganmu? Bagaimana jika aku………”

            Terputuslah percakapan Dika tadi. Terdengar suara ponsel berdering. Ternyata suara itu muncul dari ponsel imut milik Dika. Namun Dika mengabaikannya.

“Siapa Dik? Kenapa kamu tak angkat telpon itu?”

“Bukan siapa-siapa kok Sin”

“Angkatlah jika memang itu penting untukmu”

“Abaikanlah itu Sin. Sekarang waktunya aku untuk melepaskan kekecewaanku padamu sebelum 4bulan itu tiba”

“Dik, sungguh, semua ini bukan keinginanku”

“Ini juga bukan janji kita sebelumnya!”

“Dik, tolong, mengertilah”

“Sin, bayangkan jarak Yogyakarta- Bandung?”

“Dik, bila perlu aku yang ganti semua biaya mu untuk mengunjungiku”

“Tak perlu, aku tak perlu materi darimu!”

“Dik, sungguh aku menyayangimu!”

“Tak pernahkah kau sadar aku menyayangimu sejak dulu? Aku tak rela! Apakah kamu memikirkan perasaanku saat ini Sin? Apa kamu tak pernah sadar sejak kedekatan kita Sin? Aku memang tak bisa membohongi perasaanku sendiri, aku memang menyayangimu Sin, sungguh.”

            Sinta beranjak dan langsung meninggalkan Dika di kursi 06 berikut dengan bill dan uang untuk membayarnya. Sinta pergi meninggalkan Dika karena satu alasan. Sinta tak mau kehilangan Dika lebih dari ini bila mana Dika menginginkan lebih dari sekedar persahabatan.
            Taman Bougenville. Tempat yang sangat sering menjadi tujuan mereka berdua untuk menenangkan diri, bertukar pikiran satu sama lain dan memanjakan keduanya. Sayang, kali ini Sinta menginjakkan kaki di Bougenville hanya untuk sekedar membuang sisa-sisa airmatanya yang masih tertampung dikedua mata kecilnya.

“Aku sayang kamu, Dik!”

Terdengar suara manis Sinta yang dibalas dengan kata yang merdu

“Aku juga menyayangimu, Sin”


            Dika mengetahui keberadaan Sinta. Lebih dari 4tahun mereka bersama, mereka selalu menghabiskan waktu luang mereka ditempat ini. Ya, Taman Bougenville. Sang saksi bisu atas segala sesuatu yang mereka pendam selama ini. Kekecewaan yang Dika rasakan sekarangpun akan Dika hilangkan di Bougenville.

“Aku memang mencintaimu, Dik. Tapi aku tak ingin menyakiti diriku sendiri dan kamu harus menyadari bahwa kamu sebenarnya adalah kakakku. Aku sudah mengetahui semuanya dari Ayah. Ayah menceritakan semuanya. Jika kamu ingin membuktikannya kamu bisa tanyakan pada Ayahmu!”

“ITU GAK MUNGKIN SINTA! AKU GAK PERCAYA ITU!”

“Kamu mungkin bisa tak percaya itu. Tapi itu adalah kenyataan yang harus kita terima, Dik. Perasaan cinta memang tak harus memiliki. Andai kita bisa bersama, aku ingin menjadikanmu yang terakhir. Tapi, kamu akan selalu menjadi milikku selamanya karena memang yang terbaik dan kenyataannya adalah Dika Arandy itu kakak kandungku. I love you, Dik”





---- 6 tahun kemudian ----



            Hari-hari terus berlalu. Sinta akhirnya melanjutkan Studi di Yogyakarta bersama keluarga yang memang selama ini Dika ceritakan. Walau tak banyak cerita tentang keluarga Dika di Yogya, tapi sekarang cerita ini semakin banyak karena Dika dan Sinta sekarang tak mungkin terpisahkan. Ikatan darah yang kuat yang tidak akan memisahkan mereka. Kasih sayang yang tulus yang selalu menyertai kebahagiaan mereka dan keluarganya.
            Sekarang Dika telah memiliki istri dan satu orang anak. Istri dan anaknya pun begitu dekat dengan Sinta. Begitu pula Sinta, Ia memiliki teman lelaki yang mungkin akan menjadi suaminya kelak. Antara Dika dan teman lekaki Sinta pun begitu dekat dan akrab. Seolah dulu tak pernah terjadi apapun antara Dika dan Sinta. Karena teman dekat Sinta kali ini adalah Sahabat Dika sendiri.


Cinta memang tak harus memiliki, kekuatan cinta antara kita yang akan menyatukan kita, SELAMANYA.



Risky Putri Hananie

No comments:

Post a Comment